Jalan-jalan ke Flores tidaklah lengkap jika belum mengunjungi Kampung Tradisional Bena. Pukul 2:30 WITA tepat, kami berangkat menyusuri jalan perbukitan nan hijau kala itu. Dan saat kami melintas terlihat perkampungan yang indah pemandangannya dari atas bukit. Sehingga tanpa berfikir panjang lagi kami semua turun untuk mengabadikan sebuah kampung yang bernama Kampung Naru.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Nanda martu arif setiyadi (@martunanda) on

Tidak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan. Dari kota Bajawa ke lokasi Kampung Tradisional Bena hanya sekitar 18 km atau memakan waktu 30-40 menit saja dengan kendaraan roda empat. Sebelum tiba di lokasi kita juga bisa melihat kota Bajawa dari ketinggian. Hanya disarankan jika ingin mengambil gambar cityscape jangan terlampau sore atau sebelum jam 3 sore karena kabut di pegunungan sekitar akan menutup pandangan kita.

Saat tiba di Kampung Adat Bena, mata kami langsung tertuju ke bebatuan yang disusun tepat di depan rumah-rumah adat. Batu-batuan yang tersusun itu disebut Lengi (Watu Lanu) dan berfungsi sebagai tempat persembahan kepada nenek moyang (leluhur) saat dilaksanakannya upacara adat Reba. Sebagai pertanda banyaknya jumlah hewan yang dipersembahkan oleh keluarga kampung adat adalah dengan menggantungkan tengkorak kepala hewan persembahan di depan rumah masing-masing. Semakin banyak jumlah persembahan semakin banyak tengkorak yang terpampang di muka rumahnya.

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by E K I T H A D H I A R (@ekit_hadhiar) on

Bebatuan atau yang disebut Lengi (Watu Lanu) adalah merupakan tanda bahwa kampung Bena merupakan wujud peradaban Megalitikum yang ada di Flores – Nusa Tenggara Timur. Batu menhir dan dolmen pada zaman prasejarah pun digunakan untuk persembahan kepada nenek moyang. Ada sebuah cerita legenda nenek moyang suku Bena dari zaman prasejarah bernama Dakhe yang memindahkan batu-batu besar tersebut dari Gunung Inerie ke Kampung Bena.    

Pada sisi kanan dan kiri terdapat rumah-rumah kecil yang beratap alang-alang kering berbentuk bulat seperti payung dan satu lagi berbentuk persegi seperti atap rumah. Rupanya rumah kecil tersebut adalah sebagai sarana yang digunakan untuk upacara adat bagi keluarga baru sebelum memasuki rumah adat dan hidup sebagai keluarga di kampung Bena. Rumah kecil yang beratap seperti payung disebut Nga’du sebagai simbol untuk laki-laki dan yang beratap persegi disebut Bhaga sebagai simbol untuk perempuan.

Masyarakat kampung Bena hidup dari hasil bercocok tanam atau berkebun. Terlihat di depan rumah beberapa penduduk yang menjemur kemiri dan menjajakan rempah-rempah lainnya. Selain memiliki keahlian bercocok tanam, para wanitanya juga terlatih dalam membuat kain tenun khas Bena dengan campuran pewarnaan alami serta kalung-gelang dari tulang/gigi hewan persembahan.

Selain itu, keunikan lainnya yang kami lihat adalah adanya perbedaan di beberapa atap rumah adat. Untuk rumah adat utama ditandai dengan adanya rumah-rumahan kecil di puncak atapnya yang biasa disebut Sa’opupu. Sedangkan rumah adat keturunan atau anaknya ditambahkan orang-orangan di puncak atapnya atau biasa disebut Saka Lobo.

Sebelum meninggalkan kampung Bena kami tidak lupa berpamitan “Molo Mama” yang artinya kami ijin pulang atau undur diri Mama.

Tips: jika Anda suka keadaan sepi pengunjung sebaiknya berkunjung saat hari kerja senin-jum’at atau pada saat tidak ada kegiatan ritual/upacara adat, membawa snack/makanan dan minuman karena jarang ditemui warung di sekitar lokasi.

Info: lebih baik menggunakan jasa ojek atau travel dari kota Bajawa karena keterbatasan angkutan umum dari Bajawa ke Langa.

 
 

Related Posts